Nikmatnya Bercinta Dengan Mertuaku
Nikmatnya Bercinta Dengan Mertuaku – Perkenalkan dulu
namaku Firman. Sudah satu minggu ini akau berada di rumah sendirian.
Istriku, Riris, sedang ditugaskan dari kantor tempatnya bekerja untuk
mengikuti suatu pelatihan yang dilaksanakan di kota lain selama dua
minggu.
Terus terang saja aku jadi kesepian juga rasanya. Kalau mau tidur rasanya kok aneh juga, kok sendirian dan sepi, padahal biasanya ada istri di sisiku. Memang perkimpoian kami belum dikaruniai anak. Maklum baru 1 tahun berjalan. Karena sendirian itu, dan maklum karena otak laki-laki, pikirannya jadi kemana-mana.
Aku teringat peristiwa yang aku alami dengan ibu mertuaku. Ibu mertuaku memang bukan ibu kandung istriku, karena ibu kandung Riris telah meninggal dunia. Ayah mertuaku kemudian kimpoi lagi dengan ibu mertuaku yang sekarang ini dan kebetulan tidak mempunyai anak. Ibu mertuaku ini umurnya sekitar 40 tahun, wajahnya ayu, dan tubuhnya benar-benar sintal dan padat sesuai dengan wanita idamanku.
Buah dadanya besar sesuai dengan pinggulnya. Demikian juga pantatnya juga bahenol banget. Aku sering membayangkan ibu mertuaku itu kalau sedang telentang pasti vaginanya membusung ke atas terganjal pantatnya yang besar itu. Hemm, sungguh menggairahkan.
Peristiwa itu terjadi waktu malam dua hari sebelum hari perkawainanku dengan Riris. Waktu itu aku duduk berdua di kamar keluarga sambil membicarakan persiapan perkimpoianku. Mendadak lampu mati. Dalam kegelapan itu, ibu mertuaku (waktu itu masih calon) berdiri, saya pikir akan mencari lilin, tetapi justru ibu mertuaku memeluk dan menciumi pipi dan bibirku dengan lembut dan mesra. Aku kaget dan melongo karena aku tidak mengira sama sekali diciumi oleh calon ibu mertuaku yang cantik itu.
Hari-hari berikutnya aku bersikap seperti biasa, demikian juga ibu mertuaku. Pada saat-saat aku duduk berdua dengan dia, aku sering memberanikan diri memandang ibu mertuaku lama-lama, dan dia biasanya tersenyum manis dan berkata, “Apaa..?, sudah-sudah, ibu jadi malu”.
Terus terang saja aku sebenarnya merindukan untuk dapat bermesraan dengan ibu mertuaku itu. Aku kadang-kadang sangat merasa bersalah dengan Riris istriku, dan juga ayahku mertua yang baik hati. Kadang-kadang aku demikian kurang ajar membayangkan ibu mertuaku disetubuhi ayah mertuaku, aku bayangkan kemaluan ayah mertuaku keluar masuk vagina ibu mertuaku, Ooh alangkah! Tetapi aku selalu menaruh hormat kepada ayah dan ibu mertuaku. Ibu mertuaku juga sayang sama kami, walaupun Riris adalah anak tirinya.
Pagi-pagi hari berikutnya, aku ditelepon ibu mertuaku, minta agar sore harinya aku dapat mengantarkan ibu menengok famili yang sedang berada di rumah sakit, karena ayah mertuaku sedang pergi ke kota lain untuk urusan bisnis. Aku sih setuju saja. Sore harinya kami jadi pergi ke rumah sakit, dan pulang sudah sehabis maghrib. Seperti biasa aku selalu bersikap sopan dan hormat pada ibu mertuaku.
Dalam perjalan pulang itu, aku memberanikan diri bertanya, “Bu, ngapain sih dulu ibu kok cium Firman?”.
“Aah, kamu ini kok maih diingat-ingat juga siih”, jawab ibuku sambil memandangku.
“Jelas dong buu, Kan asyiik”, kataku menggoda.
“Naah, tambah kurang ajar thoo, Ingat Riris lho Tom, Nanti kedengaran ayahmu juga bisa geger lho Tom”.
“Tapii, sebenarnya kenapa siih bu, Firman jadi penasaran lho”.
“Aah, ini anak kok nggak mau diem siih, Tapi eeh, anu, Tom, sebenarnya waktu itu, waktu kita jagongan itu, ibu lihat tampangmu itu kok ganteng banget. Hidungmu, bibirmu, matamu yang agak kurang ajar itu kok membuat ibu jadi gemes banget deeh sama kamu. Makanya waktu lampu mati itu, entah setan dari mana, ibu jadi pengin banget menciummu dan merangkulmu. Ibu sebenarnya jadi malu sekali. Ibu macam apa kau ini, masa lihat menantunya sendiri kok blingsatan”.
“Mungkin, setannya ya Firman ini Bu…, Saat ini setannya itu juga deg-degan kalau lihat ibu mertuanya. Ibu boleh percaya boleh tidak, kadang-kadang kalau Firman lagi sama Riris, malah bayangin Ibu lho. Bener-bener nih. Sumpah deh. Kalau Ibu pernah bayangin Firman nggak kalau lagi sama Bapak”, aku semakin berani.
“aah nggak tahu ah…, udaah…, udaah…, nanti kalau keterusan kan nggak baik. Hati-hati setirnya. Nanti kalau nabrak-nabrak dikiranya nyetir sambil pacaran ama ibu mertuanya. Pasti ibu yang disalahin orang, Dikiranya yang tua niih yang ngebet”, katanya.
“Padahal dua-duanya ngebet lo Bu. Buu, maafin Firman deeh. Firman jadi pengiin banget sama ibu lho…, Gimana niih, punya Firman sakit kejepit celana nihh”, aku makin berani.
“Aduuh Firman, jangan gitu dong. Ibu jadi susah nih. Tapi terus terang aja Firman.., Ibu jadi kayak orang jatuh cinta sama kamu.., Kalau udah begini, udah naik begini, ibu jadi pengin ngeloni kamu Tom…, Tom kita cepat pulang saja yaa…, Nanti diterusin dirumah…, Kita pulang ke rumahmu saja sekarang…, Toh lagi kosong khan…, Tapi Tom minggir sebentar Tom, ibu pengen cium kamu di sini”, kata ibu dengan suara bergetar.
Ooh aku jadi berdebar-debar sekali. Mungkin terpengaruh juga karena aku sudah satu minggu tidak bersetubuh dengan istriku. Aku jadi nafsu banget. Aku minggir di tempat yang agak gelap. Sebenarnya kaca mobilku juga sudah gelap, sehingga tidak takut ketahuan orang. Aku dan ibu mertuaku berangkulan, berciuman dengan lembut penuh kerinduan. Benar-benar, selama ini kami saling merindukan.
“eehhm…, Firman ibu kangen banget Firman”, bisik ibu mertuaku.
“Firman juga buu”, bisikku.
“Firman…, udah dulu Tom…, eehmm udah dulu”, napas kami memburu.
“Ayo jalan lagi…, Hati-hati yaa”, kata ibu mertuaku.
“Buu penisku kejepit niih…, Sakit”, kataku.
“iich anak nakal”, Pahaku dicubitnya.
“Okey…, buka dulu ritsluitingnya”, katanya.
Cepat-cepat aku buka celanaku, aku turuni celana dalamku. Woo, langsung berdiri tegang banget. Tangan kiri ibu, aku tuntun untuk memegang penisku.
“Aduuh Firman. Gede banget pelirmu…, Biar ibu pegangin, Ayo jalan. Hati-hati setirnya”.
Aku masukkan persneling satu, dan mobil melaju pulang. Penisku dipegangi ibu mertuaku, jempolnya mengelus-elus kepala penisku dengan lembut. Aduuh, gelii… nikmat sekali. Mobil berjalan tenang, kami berdiam diri, tetapi tangan ibu terus memijat dan mengelus-elus penisku dengan lembut.
Sampai di rumahku, aku turun membuka pintu, dan langsung masuk garasi. Garasi aku tutup kembali. Kami bergandengan tangan masuk ke ruang tamu. Kami duduk di sofa dan berpandangan dengan penuh kerinduan. Suasana begitu hening dan romantis, kami berpelukan lagi, berciuman lagi, makin menggelora. Kami tumpahkan kerinduan kami. Aku ciumi ibu mertuaku dengan penuh nafsu. Aku rogoh buah dadanya yang selalu aku bayangkan, aduuh benar-benar besar dan lembut.
“Buu, Firman kangen banget buu…, Firman kangen banget”.
“Aduuh Firman, ibu juga…, Peluklah ibu Tom, peluklah ibu” nafasnya semakin memburu.
Matanya terpejam, aku ciumi matanya, pipinya, aku lumat bibirnya, dan lidahku aku masukkan ke mulutnya. Ibu agak kaget dan membuka matanya. Kemudian dengan serta-merta lidahku disedotnya dengan penuh nafsu.
“Eehhmm.., Tom, ibu belum pernah ciuman seperti ini…, Lagi Tom masukkan lidahmu ke mulut ibu”
Ibu mendorongku pelan, memandangku dengan mesra. Dirangkulnya lagi diriku dan berbisik, “Tom, bawalah Ibu ke kamar…, Enakan di kamar, jangan disini”.
Dengan berangkulan kami masuk ke kamar tengah yang kosong. Aku merasa tidak enak di tempat tidur kami. Aku merasa tidak enak dengan Riris apabila kami memakai tempat tidur di kamar kami.
“Bu kita pakai kamar tengah saja yaa”.
“Okey, Tom. Aku juga nggak enak pakai kamar tidurmu. Lebih bebas di kamar ini”, kata ibu mertuaku penuh pengertian. Aku remas pantatnya yang bahenol.
“iich.., dasar anak nakal”, ibu mertuaku merengut manja.
Kami duduk di tempat tidur, sambil beciuman aku buka pakaian ibu mertuaku. Aku sungguh terpesona dengan kulit ibuku yang putih bersih dan mulus dengan buah dadanya yang besar menggantung indah. Ibu aku rebahkan di tempat tidur. Celana dalamnya aku pelorotkan dan aku pelorotkan dari kakinya yang indah. Sekali lagi aku kagum melihat vagina ibu mertuaku yang tebal dengan bulunya yang tebal keriting. Seperti aku membayangkan selama ini, vagina ibu mertuaku benar menonjol ke atas terganjal pantatnya yang besar. Aku tidak tahan lagi memandang keindahan ibu mertuaku telentang di depanku. Aku buka pakaianku dan penisku sudah benar-benar tegak sempurna. Ibu mertuaku memandangku dengan tanpa berkedip. Kami saling merindukan kebersamaan ini. Aku berbaring miring di samping ibu mertuaku. Aku ciumi, kuraba, kuelus semuanya, dari bibirnya sampai pahanya yang mulus.
Aku remas lembut buah dadanya, kuelus perutnya, vaginanya, klitorisnya aku main-mainkan. Liangnya vaginanya sudah basah. Jariku aku basahi dengan cairan vagina ibu mertuaku, dan aku usapkan lembut di clitorisnya. Ibu menggelinjang keenakan dan mendesis-desis. Sementara peliku dipegang ibu dan dielus-elusnya. Kerinduan kami selama ini sudah mendesak untuk ditumpahkan dan dituntaskan malam ini. Ibu menggeliat-geliat, meremas-remas kepalaku dan rambutku, mengelus punggungku, pantatku, dan akhirnya memegang penisku yang sudah siap sedia masuk ke liang vagina ibu mertuaku.
“Buu, aku kaangen banget buu…, Firmany kanget banget…, Firman anak nakal buu..”, bisikku.
“Firman…, ibu juga. sshh…, masukin Firman…, masukin sekarang…, Ibu sudah pengiin banget Firman, Firmanm…”, bisik ibuku tersengal-sengal. Aku naik ke atas ibu mertuaku bertelakn pada siku dan lututku.
Tangan kananku mengelus wajahnya, pipinya, hidungnya dan bibir ibu mertuaku. Kami berpandangan. Berpandangan sangat mesra. Penisku dituntunnya masuk ke liang vaginanya yang sudah basah. Ditempelkannya dan digesek-gesekan di bibir vaginanya, di clitorisnya. Tangan kirinya memegang pantatku, menekan turun sedikit dan melepaskan tekanannya memberi komando penisku.
Kaki ibu mertuaku dikangkangnya lebar-lebar, dan aku sudah tidak sabar lagi untuk masuk ke vagina ibu mertuaku. Kepala penisku mulai masuk, makin dalam, makin dalam dan akhirnya masuk semuanya sampai ke pangkalnya. Aku mulai turun naik dengan teratur, keluar masuk, keluar masuk dalam vagina yang basah dan licin. Aduuh enaak, enaak sekali dan akhirnya mulai memasuki.
“Masukkan separo saja Tom. Keluar-masukkan kepalanya yang besar ini…, Aduuh garis kepalanya enaak sekali”.
Nafsu kami semakin menggelora. Aku semakin cepat, semakin memompa penisku ke vagina ibu mertuaku. “Buu, Firman masuk semua, masuk semua buu”
“Iyaa Firman, enaak banget. Pelirmu ngganjel banget. Gede banget rasane. Ibu marem banget” kami mendesis-desis, menggeliat-geliat, melenguh penuh kenikmatan. Sementara itu kakinya yang tadi mengangkang sekarang dirapatkan.
Aduuh, vaginanya tebal banget. Aku paling tidak tahan lagi kalau sudah begini. Aku semakin ngotot menyetubuhi ibu mertuaku, mencoblos vagina ibu mertuaku yang licin, yang tebal, yang sempit (karena sudah kontraksi mau puncak). Bunyinya kecepak-kecepok membuat aku semakin bernafsu. Aduuh, aku sudah tidak tahan lagi.
“Buu Firman mau keluaar buu…, Aduuh buu.., enaak bangeet”.
“ssh…, hiiya Firman, keluariin Firman, keluarin”.
“Ibu juga mau muncaak, mau muncaak…, Firmanm, Tomm, Teruss Firmanm”, Kami berpagutan kuat-kuat. Napas kami terhenti. Penisku aku tekan kuat-kuat ke dalam vagina ibu mertuaku.
Pangkal penisku berdenyut-denyut. menyemprotlah sudah spermaku ke vagina ibu mertuaku. Kami bersama-sama menikmati puncak persetubuhan kami. Kerinduan, ketegangan kami tumpah sudah. Rasanya lemas sekali. Napas yang tadi hampir terputus semakin menurun.
Aku angkat badanku. Akan aku cabut penisku yang sudah menancap dari dalam liang vaginanya, tetapi ditahan ibu mertuaku.
“Biar di dalam dulu Firman…, Ayo miring, kamu berat sekali. Kamu nekad saja…, masa’ orang ditindih sekuatnya”, katanya sambil memencet hidungku. Kami miring, berhadapan, Ibu mertuaku memencet hidungku lagi, “Dasar anak kurang ajar…, Berani sama ibunya.., Masa ibunya dinaikin, Tapi Firman…, ibu nikmat banget, ‘marem’ banget. Ibu belum pernah merasakan seperti ini”.
“Buu, Firman juga buu. Mungkin karena curian ini ya buu, bukan miliknya…, Punya bapaknya kok dimakan. Ibu juga, punya anakya kok ya dimakan, diminum”, kataku menggodanya.
“Huush, dasar anak nakal.., Ayo dilepas Firman.., Aduuh berantakan niih Spermamu pada tumpah di sprei, Keringatmu juga basahi tetek ibu niih”.
“Buu, malam ini ibu nggak usah pulang. Aku pengin dikelonin ibu malam ini. Aku pengin diteteki sampai pagi”, kataku.
Baca Juga > Cerita Sex Mantan Murid Kukentot
“Ooh jangan cah bagus…, kalau dituruti Ibu juga penginnya begitu. Tapi tidak boleh begitu. Kalau ketahuan orang bisa geger deeh”, jawab ibuku.
“Tapi buu, Firman rasanya emoh pisah sama ibu”.
“Hiyya, ibu tahu, tapi kita harus pakai otak dong. Toh, ibu tidak akan kabur.., justru kalau kita tidak hati-hati, semuanya akan bubar deh”.
Kami saling berpegangan tangan, berpandangan dengan mesra, berciuman lagi penuh kelembutan. Tiada kata-kata yang keluar, tidak dapat diwujudkan dalam kata-kata. Kami saling mengasihi, antara ibu dan anak, antara seorang pria dan seorang wanita, kami tulus mengasihi satu sama lain.
Malam itu kami mandi bersama, saling menyabuni, menggosok, meraba dan membelai. Penisku dicuci oleh ibu mertuaku, sampai tegak lagi.
“Sudaah, sudaah, jangan nekad saja. Ayo nanti keburu malam”.
Malam itu sungguh sangat berkesan dalam hidupku. Hari-hari selanjutnya berjalan normal seperti biasanya. Kami saling menjaga diri. Kami menumpahkan kerinduan kami hanya apabila benar-benar aman. Tetapi kami banyak kesempatan untuk sekedar berciuman dan membelai. Kadang-kadang dengan berpandangan mata saja kami sudah menyalurkan kerinduan kami. Kami semakin sabar, semakain dewasa dalam menjaga hubungan cinta-kasih kami dan inilah akhir dari kisah.
Terus terang saja aku jadi kesepian juga rasanya. Kalau mau tidur rasanya kok aneh juga, kok sendirian dan sepi, padahal biasanya ada istri di sisiku. Memang perkimpoian kami belum dikaruniai anak. Maklum baru 1 tahun berjalan. Karena sendirian itu, dan maklum karena otak laki-laki, pikirannya jadi kemana-mana.
Aku teringat peristiwa yang aku alami dengan ibu mertuaku. Ibu mertuaku memang bukan ibu kandung istriku, karena ibu kandung Riris telah meninggal dunia. Ayah mertuaku kemudian kimpoi lagi dengan ibu mertuaku yang sekarang ini dan kebetulan tidak mempunyai anak. Ibu mertuaku ini umurnya sekitar 40 tahun, wajahnya ayu, dan tubuhnya benar-benar sintal dan padat sesuai dengan wanita idamanku.
Buah dadanya besar sesuai dengan pinggulnya. Demikian juga pantatnya juga bahenol banget. Aku sering membayangkan ibu mertuaku itu kalau sedang telentang pasti vaginanya membusung ke atas terganjal pantatnya yang besar itu. Hemm, sungguh menggairahkan.
Peristiwa itu terjadi waktu malam dua hari sebelum hari perkawainanku dengan Riris. Waktu itu aku duduk berdua di kamar keluarga sambil membicarakan persiapan perkimpoianku. Mendadak lampu mati. Dalam kegelapan itu, ibu mertuaku (waktu itu masih calon) berdiri, saya pikir akan mencari lilin, tetapi justru ibu mertuaku memeluk dan menciumi pipi dan bibirku dengan lembut dan mesra. Aku kaget dan melongo karena aku tidak mengira sama sekali diciumi oleh calon ibu mertuaku yang cantik itu.
Hari-hari berikutnya aku bersikap seperti biasa, demikian juga ibu mertuaku. Pada saat-saat aku duduk berdua dengan dia, aku sering memberanikan diri memandang ibu mertuaku lama-lama, dan dia biasanya tersenyum manis dan berkata, “Apaa..?, sudah-sudah, ibu jadi malu”.
Terus terang saja aku sebenarnya merindukan untuk dapat bermesraan dengan ibu mertuaku itu. Aku kadang-kadang sangat merasa bersalah dengan Riris istriku, dan juga ayahku mertua yang baik hati. Kadang-kadang aku demikian kurang ajar membayangkan ibu mertuaku disetubuhi ayah mertuaku, aku bayangkan kemaluan ayah mertuaku keluar masuk vagina ibu mertuaku, Ooh alangkah! Tetapi aku selalu menaruh hormat kepada ayah dan ibu mertuaku. Ibu mertuaku juga sayang sama kami, walaupun Riris adalah anak tirinya.
Pagi-pagi hari berikutnya, aku ditelepon ibu mertuaku, minta agar sore harinya aku dapat mengantarkan ibu menengok famili yang sedang berada di rumah sakit, karena ayah mertuaku sedang pergi ke kota lain untuk urusan bisnis. Aku sih setuju saja. Sore harinya kami jadi pergi ke rumah sakit, dan pulang sudah sehabis maghrib. Seperti biasa aku selalu bersikap sopan dan hormat pada ibu mertuaku.
Dalam perjalan pulang itu, aku memberanikan diri bertanya, “Bu, ngapain sih dulu ibu kok cium Firman?”.
“Aah, kamu ini kok maih diingat-ingat juga siih”, jawab ibuku sambil memandangku.
“Jelas dong buu, Kan asyiik”, kataku menggoda.
“Naah, tambah kurang ajar thoo, Ingat Riris lho Tom, Nanti kedengaran ayahmu juga bisa geger lho Tom”.
“Tapii, sebenarnya kenapa siih bu, Firman jadi penasaran lho”.
“Aah, ini anak kok nggak mau diem siih, Tapi eeh, anu, Tom, sebenarnya waktu itu, waktu kita jagongan itu, ibu lihat tampangmu itu kok ganteng banget. Hidungmu, bibirmu, matamu yang agak kurang ajar itu kok membuat ibu jadi gemes banget deeh sama kamu. Makanya waktu lampu mati itu, entah setan dari mana, ibu jadi pengin banget menciummu dan merangkulmu. Ibu sebenarnya jadi malu sekali. Ibu macam apa kau ini, masa lihat menantunya sendiri kok blingsatan”.
“Mungkin, setannya ya Firman ini Bu…, Saat ini setannya itu juga deg-degan kalau lihat ibu mertuanya. Ibu boleh percaya boleh tidak, kadang-kadang kalau Firman lagi sama Riris, malah bayangin Ibu lho. Bener-bener nih. Sumpah deh. Kalau Ibu pernah bayangin Firman nggak kalau lagi sama Bapak”, aku semakin berani.
“aah nggak tahu ah…, udaah…, udaah…, nanti kalau keterusan kan nggak baik. Hati-hati setirnya. Nanti kalau nabrak-nabrak dikiranya nyetir sambil pacaran ama ibu mertuanya. Pasti ibu yang disalahin orang, Dikiranya yang tua niih yang ngebet”, katanya.
“Padahal dua-duanya ngebet lo Bu. Buu, maafin Firman deeh. Firman jadi pengiin banget sama ibu lho…, Gimana niih, punya Firman sakit kejepit celana nihh”, aku makin berani.
“Aduuh Firman, jangan gitu dong. Ibu jadi susah nih. Tapi terus terang aja Firman.., Ibu jadi kayak orang jatuh cinta sama kamu.., Kalau udah begini, udah naik begini, ibu jadi pengin ngeloni kamu Tom…, Tom kita cepat pulang saja yaa…, Nanti diterusin dirumah…, Kita pulang ke rumahmu saja sekarang…, Toh lagi kosong khan…, Tapi Tom minggir sebentar Tom, ibu pengen cium kamu di sini”, kata ibu dengan suara bergetar.
Ooh aku jadi berdebar-debar sekali. Mungkin terpengaruh juga karena aku sudah satu minggu tidak bersetubuh dengan istriku. Aku jadi nafsu banget. Aku minggir di tempat yang agak gelap. Sebenarnya kaca mobilku juga sudah gelap, sehingga tidak takut ketahuan orang. Aku dan ibu mertuaku berangkulan, berciuman dengan lembut penuh kerinduan. Benar-benar, selama ini kami saling merindukan.
“eehhm…, Firman ibu kangen banget Firman”, bisik ibu mertuaku.
“Firman juga buu”, bisikku.
“Firman…, udah dulu Tom…, eehmm udah dulu”, napas kami memburu.
“Ayo jalan lagi…, Hati-hati yaa”, kata ibu mertuaku.
“Buu penisku kejepit niih…, Sakit”, kataku.
“iich anak nakal”, Pahaku dicubitnya.
“Okey…, buka dulu ritsluitingnya”, katanya.
Cepat-cepat aku buka celanaku, aku turuni celana dalamku. Woo, langsung berdiri tegang banget. Tangan kiri ibu, aku tuntun untuk memegang penisku.
“Aduuh Firman. Gede banget pelirmu…, Biar ibu pegangin, Ayo jalan. Hati-hati setirnya”.
Aku masukkan persneling satu, dan mobil melaju pulang. Penisku dipegangi ibu mertuaku, jempolnya mengelus-elus kepala penisku dengan lembut. Aduuh, gelii… nikmat sekali. Mobil berjalan tenang, kami berdiam diri, tetapi tangan ibu terus memijat dan mengelus-elus penisku dengan lembut.
Sampai di rumahku, aku turun membuka pintu, dan langsung masuk garasi. Garasi aku tutup kembali. Kami bergandengan tangan masuk ke ruang tamu. Kami duduk di sofa dan berpandangan dengan penuh kerinduan. Suasana begitu hening dan romantis, kami berpelukan lagi, berciuman lagi, makin menggelora. Kami tumpahkan kerinduan kami. Aku ciumi ibu mertuaku dengan penuh nafsu. Aku rogoh buah dadanya yang selalu aku bayangkan, aduuh benar-benar besar dan lembut.
“Buu, Firman kangen banget buu…, Firman kangen banget”.
“Aduuh Firman, ibu juga…, Peluklah ibu Tom, peluklah ibu” nafasnya semakin memburu.
Matanya terpejam, aku ciumi matanya, pipinya, aku lumat bibirnya, dan lidahku aku masukkan ke mulutnya. Ibu agak kaget dan membuka matanya. Kemudian dengan serta-merta lidahku disedotnya dengan penuh nafsu.
“Eehhmm.., Tom, ibu belum pernah ciuman seperti ini…, Lagi Tom masukkan lidahmu ke mulut ibu”
Ibu mendorongku pelan, memandangku dengan mesra. Dirangkulnya lagi diriku dan berbisik, “Tom, bawalah Ibu ke kamar…, Enakan di kamar, jangan disini”.
Dengan berangkulan kami masuk ke kamar tengah yang kosong. Aku merasa tidak enak di tempat tidur kami. Aku merasa tidak enak dengan Riris apabila kami memakai tempat tidur di kamar kami.
“Bu kita pakai kamar tengah saja yaa”.
“Okey, Tom. Aku juga nggak enak pakai kamar tidurmu. Lebih bebas di kamar ini”, kata ibu mertuaku penuh pengertian. Aku remas pantatnya yang bahenol.
“iich.., dasar anak nakal”, ibu mertuaku merengut manja.
Kami duduk di tempat tidur, sambil beciuman aku buka pakaian ibu mertuaku. Aku sungguh terpesona dengan kulit ibuku yang putih bersih dan mulus dengan buah dadanya yang besar menggantung indah. Ibu aku rebahkan di tempat tidur. Celana dalamnya aku pelorotkan dan aku pelorotkan dari kakinya yang indah. Sekali lagi aku kagum melihat vagina ibu mertuaku yang tebal dengan bulunya yang tebal keriting. Seperti aku membayangkan selama ini, vagina ibu mertuaku benar menonjol ke atas terganjal pantatnya yang besar. Aku tidak tahan lagi memandang keindahan ibu mertuaku telentang di depanku. Aku buka pakaianku dan penisku sudah benar-benar tegak sempurna. Ibu mertuaku memandangku dengan tanpa berkedip. Kami saling merindukan kebersamaan ini. Aku berbaring miring di samping ibu mertuaku. Aku ciumi, kuraba, kuelus semuanya, dari bibirnya sampai pahanya yang mulus.
Aku remas lembut buah dadanya, kuelus perutnya, vaginanya, klitorisnya aku main-mainkan. Liangnya vaginanya sudah basah. Jariku aku basahi dengan cairan vagina ibu mertuaku, dan aku usapkan lembut di clitorisnya. Ibu menggelinjang keenakan dan mendesis-desis. Sementara peliku dipegang ibu dan dielus-elusnya. Kerinduan kami selama ini sudah mendesak untuk ditumpahkan dan dituntaskan malam ini. Ibu menggeliat-geliat, meremas-remas kepalaku dan rambutku, mengelus punggungku, pantatku, dan akhirnya memegang penisku yang sudah siap sedia masuk ke liang vagina ibu mertuaku.
“Buu, aku kaangen banget buu…, Firmany kanget banget…, Firman anak nakal buu..”, bisikku.
“Firman…, ibu juga. sshh…, masukin Firman…, masukin sekarang…, Ibu sudah pengiin banget Firman, Firmanm…”, bisik ibuku tersengal-sengal. Aku naik ke atas ibu mertuaku bertelakn pada siku dan lututku.
Tangan kananku mengelus wajahnya, pipinya, hidungnya dan bibir ibu mertuaku. Kami berpandangan. Berpandangan sangat mesra. Penisku dituntunnya masuk ke liang vaginanya yang sudah basah. Ditempelkannya dan digesek-gesekan di bibir vaginanya, di clitorisnya. Tangan kirinya memegang pantatku, menekan turun sedikit dan melepaskan tekanannya memberi komando penisku.
Kaki ibu mertuaku dikangkangnya lebar-lebar, dan aku sudah tidak sabar lagi untuk masuk ke vagina ibu mertuaku. Kepala penisku mulai masuk, makin dalam, makin dalam dan akhirnya masuk semuanya sampai ke pangkalnya. Aku mulai turun naik dengan teratur, keluar masuk, keluar masuk dalam vagina yang basah dan licin. Aduuh enaak, enaak sekali dan akhirnya mulai memasuki.
“Masukkan separo saja Tom. Keluar-masukkan kepalanya yang besar ini…, Aduuh garis kepalanya enaak sekali”.
Nafsu kami semakin menggelora. Aku semakin cepat, semakin memompa penisku ke vagina ibu mertuaku. “Buu, Firman masuk semua, masuk semua buu”
“Iyaa Firman, enaak banget. Pelirmu ngganjel banget. Gede banget rasane. Ibu marem banget” kami mendesis-desis, menggeliat-geliat, melenguh penuh kenikmatan. Sementara itu kakinya yang tadi mengangkang sekarang dirapatkan.
Aduuh, vaginanya tebal banget. Aku paling tidak tahan lagi kalau sudah begini. Aku semakin ngotot menyetubuhi ibu mertuaku, mencoblos vagina ibu mertuaku yang licin, yang tebal, yang sempit (karena sudah kontraksi mau puncak). Bunyinya kecepak-kecepok membuat aku semakin bernafsu. Aduuh, aku sudah tidak tahan lagi.
“Buu Firman mau keluaar buu…, Aduuh buu.., enaak bangeet”.
“ssh…, hiiya Firman, keluariin Firman, keluarin”.
“Ibu juga mau muncaak, mau muncaak…, Firmanm, Tomm, Teruss Firmanm”, Kami berpagutan kuat-kuat. Napas kami terhenti. Penisku aku tekan kuat-kuat ke dalam vagina ibu mertuaku.
Pangkal penisku berdenyut-denyut. menyemprotlah sudah spermaku ke vagina ibu mertuaku. Kami bersama-sama menikmati puncak persetubuhan kami. Kerinduan, ketegangan kami tumpah sudah. Rasanya lemas sekali. Napas yang tadi hampir terputus semakin menurun.
Aku angkat badanku. Akan aku cabut penisku yang sudah menancap dari dalam liang vaginanya, tetapi ditahan ibu mertuaku.
“Biar di dalam dulu Firman…, Ayo miring, kamu berat sekali. Kamu nekad saja…, masa’ orang ditindih sekuatnya”, katanya sambil memencet hidungku. Kami miring, berhadapan, Ibu mertuaku memencet hidungku lagi, “Dasar anak kurang ajar…, Berani sama ibunya.., Masa ibunya dinaikin, Tapi Firman…, ibu nikmat banget, ‘marem’ banget. Ibu belum pernah merasakan seperti ini”.
“Buu, Firman juga buu. Mungkin karena curian ini ya buu, bukan miliknya…, Punya bapaknya kok dimakan. Ibu juga, punya anakya kok ya dimakan, diminum”, kataku menggodanya.
“Huush, dasar anak nakal.., Ayo dilepas Firman.., Aduuh berantakan niih Spermamu pada tumpah di sprei, Keringatmu juga basahi tetek ibu niih”.
“Buu, malam ini ibu nggak usah pulang. Aku pengin dikelonin ibu malam ini. Aku pengin diteteki sampai pagi”, kataku.
Baca Juga > Cerita Sex Mantan Murid Kukentot
“Ooh jangan cah bagus…, kalau dituruti Ibu juga penginnya begitu. Tapi tidak boleh begitu. Kalau ketahuan orang bisa geger deeh”, jawab ibuku.
“Tapi buu, Firman rasanya emoh pisah sama ibu”.
“Hiyya, ibu tahu, tapi kita harus pakai otak dong. Toh, ibu tidak akan kabur.., justru kalau kita tidak hati-hati, semuanya akan bubar deh”.
Kami saling berpegangan tangan, berpandangan dengan mesra, berciuman lagi penuh kelembutan. Tiada kata-kata yang keluar, tidak dapat diwujudkan dalam kata-kata. Kami saling mengasihi, antara ibu dan anak, antara seorang pria dan seorang wanita, kami tulus mengasihi satu sama lain.
Malam itu kami mandi bersama, saling menyabuni, menggosok, meraba dan membelai. Penisku dicuci oleh ibu mertuaku, sampai tegak lagi.
“Sudaah, sudaah, jangan nekad saja. Ayo nanti keburu malam”.
Malam itu sungguh sangat berkesan dalam hidupku. Hari-hari selanjutnya berjalan normal seperti biasanya. Kami saling menjaga diri. Kami menumpahkan kerinduan kami hanya apabila benar-benar aman. Tetapi kami banyak kesempatan untuk sekedar berciuman dan membelai. Kadang-kadang dengan berpandangan mata saja kami sudah menyalurkan kerinduan kami. Kami semakin sabar, semakain dewasa dalam menjaga hubungan cinta-kasih kami dan inilah akhir dari kisah.
Comments
Post a Comment